Globaltoday.id, Jember – Baru-baru ini, publik Jember disuguhkan sengketa administratif yang menarik antara Kepala Desa Sidomulyo dan tiga Kepala Dusunnya. Persoalannya klise namun fundamental: Pemberhentian yang dianggap sepihak dengan alasan yang berubah-ubah. Kasus ini bukan sekadar urusan “pecat-memecat” di tingkat dusun, melainkan cermin retaknya kepastian hukum dalam tata kelola pemerintahan desa kita.
Dualisme Alasan: Cacat Logika atau Cacat Hukum?
Dalam rapat klarifikasi di DPRD Jember, muncul kejanggalan yang mencolok. Di satu sisi, alasan pemberhentian dikaitkan dengan target Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). Di sisi lain, muncul tuduhan berat: penggelapan pajak hingga pungli.
Secara sosiologis, tuduhan pidana mungkin terdengar gagah. Namun secara hukum administrasi, inkonsistensi alasan ini adalah “lonceng kematian” bagi validitas sebuah Surat Keputusan (SK). Sebuah keputusan tata usaha negara yang lahir dari alasan yang berubah-ubah mencerminkan ketidakteraturan berpikir pejabat yang berujung pada pelanggaran Asas Kepastian Hukum.
Dugaan Bukanlah Bukti
Tuduhan penggelapan pajak sebesar Rp16 juta dan penyalahgunaan BLT adalah delik pidana yang serius. Namun, dalam negara hukum, kita mengenal asas Presumption of Innocence (praduga tak bersalah). Memberhentikan perangkat desa berdasarkan “dugaan” tanpa adanya putusan pengadilan atau setidaknya Laporan Hasil Pemeriksaan (LHP) resmi dari Inspektorat adalah tindakan yang terburu-buru, jika tidak ingin disebut gegabah.
Pemerintah Desa harus memahami bahwa prosedur formal—seperti surat peringatan (SP) dan rekomendasi Camat—hanyalah syarat administratif “pembungkus”. Jika “isi” di dalamnya (alasan material) ternyata rapuh dan tidak terbukti secara hukum, maka SK tersebut hanyalah selembar kertas yang menunggu dibatalkan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Indikasi “Detournement de Pouvoir”
Jika benar alasan PBB digunakan sebagai “pintu masuk” untuk menghukum pelanggaran lain yang belum terbukti, maka Kades telah terjebak dalam detournement de pouvoir atau penyalahgunaan wewenang. Kewenangan memecat perangkat desa diberikan undang-undang untuk membina birokrasi, bukan sebagai alat “pemukul” untuk kepentingan subjektif.
Kesimpulan: Urgensi Audit Hukum
Kasus Sidomulyo seharusnya menjadi momentum bagi Pemerintah Kabupaten Jember, khususnya Inspektorat, untuk turun tangan secara substantif. Penegakan hukum di desa tidak boleh dilakukan dengan cara-cara yang melanggar hukum itu sendiri.
Bagi para perangkat desa, jalur PTUN adalah “benteng terakhir” untuk menguji apakah martabat jabatan mereka dikorbankan demi efisiensi setoran pajak ataukah memang ada kesalahan yang nyata. Tanpa kejelasan ini, marwah pemerintahan desa akan terus tersandera oleh ketidakpastian hukum yang merugikan masyarakat luas.
Oleh: Dr. Basuki Kurniawan
(Pakar Hukum Administrasi Negara)






